Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa : 4/4)
Perlu kita ketahui bersama bahwa maskawin adalah hak bagi seorang wanita (istri) untuk menguasainya, sebagaimana ia menguasai hartanya sendiri. Sedangkan suaminya tidak berhak menguasai seluruh atau sebagian hari harta tersebut, juga tidak berhak memaksa istrinya untuk memberikan kepadanya; baik sedikit maupun banyak. Sesungguhnya seorang suami berkewajian menyediakan tempat tinggal, pakaian dan nafkahnya. Berbeda dengan apa yang berlaku saat ini, kecuali ia memberikan dengan senang hati.
Kebanyakan dari perlakuan seorang suami terhadap istrinya saat ini adalah seperti membebani keluarga istri dengan membeli berbagai jenis pakaian, perabot rumah tangga dan hadiah, yang merupakan perbuatan mengambil harta manusia dengan cara ilegal dan suatu pelanggaran terhadap syariat Allah. Perbuatan itu juga merupakan suatu perlakuan yang tidak bisa diterima oleh seorang yang memiliki kemuliaan dan keikhlasan, atau oleh seorang yang percaya kepada Allah dan hari kiamat. Sesungguhnya kebanyakan dari para pemuda dan suami menuntut dirinya agar mampu menyiapkan ini dan itu, sehingga berbalik memaksa keluarga istrinya untuk membelanjakan maharnya (istri) dan segala yang dimilikinya. Terkadang mereka (keluarga istri) menanggung hutang yang banyak. Oleh karena itu, segala persiapan yang dilakukan tidak akan membawakan berkah. Sebab, jiwanya tidak merasa senang dengan apa yang telah terjadi, dimana sang suami dengan kelalimannya berarti telah melakukan pemaksaan terhadap apa yang bukan haknya.
Sudah menjadi kebiasaan di banyak negara muslim bahwa seorang istri harus melengkapi segala kebutuhan dengan menggunakan maharnya. Hal itu bisa ditolerir jika sang istri melakukannya dengan senang hati dan terlepas dari unsur pemaksaan. Dalam masalah ini diwajibkan untuk tidak berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta dengan maksud menyombongkan diri, berdasarkan firma Allah Subhanahu wata’ala berikuti ini yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku sia-sia itu merupakan saudara dari syetan dan sesungguhnya setan itu banyak berbuat kufur terhadap Rabnya.” Orang-orang yang memaksakan diri memiliki segala perabotan yang disepuh emas dan berusaha memiliki bejana dari emas serta perak hanyalah mengikuti jalan setan dan telah menghalalkan untuknya sesuatu yang telah dilarang oleh Rasulullah Shallalu’alaihi wasallam, seperti tertera di dalam sabda beliau yang artinya, “sesungguhnya orang-orang yang memakan dan meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak sama seperti menyalakan api Jahanam di dalam perutnya.”
Allah Subhanahu wata’ala berfirman di dalam al-Quran,
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (QS. An-Nisa : 4/20)
Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam bersabda,
أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوجَ
“Syarat yang lebih baik hak untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya kalian mengalalkan farji (istri) kalian” (HR. Bukhari, Muslim)
Beliau Shallalahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Laki-laki mana saja yang menikahi seorang perempuan dengan sedikit atau banyak mahar dan ia tidak memberikan kepada istrinya apa yang seharusnya menjadi haknya, maka sungguh ia telah menipunya. Apabila sampai ajal merenggut nyawanya ia masih belum juga memberikan haknya, maka ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak dalam keadaan (sebagaimana keadaan seorang) pezina”. (HR. Thabrani dengan sanad shahih).