(Tinjauan Sosio-Historis)
Ketika Hijrah, di antara tindakan pertama Rasulullah saw—segera setelah tiba di Yastrib—ialah mengubah nama kota itu menjadi Madinah, atau lengkapnya, Madinat Al-Nabi, “Kota Nabi”. Ini bisa dibandingkan dengan keputusan Raja Constantin Dari Byzantium yang memberi nama Constantinope (Constantino-polis, “Kota Konstantin”) kepada kota yang didirikannya. Tetapi Nabi tidaklah bermaksud untuk sekedar mengabadikan nama beliau seperti maksud raja Eropa itu. Dengan mengubah nama kota Yasrib menjadi Madinah, Nabi memaksudkan sesuatu yang jauh lebih mendalam.
Pertama-tama, perkataan “madinah” sendiri memang berarti “kota”. Selanjutnya, dari segi etimologis, perkataan itu berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan “madinah” dan “tamaddun”, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka, secara harfiah “madinah” adalah tempat peradaban atau suatu lingkungan hidup yang ber”adab” (kesopanan, “civility”), tidak “liar”.
Dalam Bahasa Arab, padanan istilah “madaniyah” ialah “hadlarah” (satu akar kata dengan perkataan “hadlir [Indonesia:”hadir”]) yang menunjuk kepada pengertian asal “pola hidup menetap di suatu tempat” (“sedentary”). Pengertian ini amat erat kaitannya degan istilah “tsaqafah”, suatu padanan dalam bahasa Arab untuk “budaya””, “culture”, tapi sesungguhnya juga mengisyaratkan pola kehidupan yang menetap di suatu tempat tertentu. Sebab peradaban dan kebudayaan, dalam arti idealnya, dapat diwujudkan hanya melalui pola kehidupan sosial yang menetap, “sedentary” (Inggris), tidak berpindah-pindah seperti pola kehidupan kaum “normad” (Inggris).
Oleh karena itu, konsep “madaniyah” tersebut akan menjadi lebih tajam pengertiannya jika kita letakkan dalam konteks pola kehidupan yang umum terdapat di Jazirah Arabia saat itu yaitu pola kehidupan “badawah”, “badiyah” atau “badw”,, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah, nomad, dan tidak teratur. Khususnya pola kehidupan gurun pasir. Bahkan sesungguhnya istilah itu mengisyratkan pola kehidupan “primitif” (“tingkat permulaan”), sebagaimana ditunjuk oleh etimolgi istilah itu sendiri (“badawah”, “badw” adalah seakar kata dengan “ibtida” seperti dimaksud dalam istilah “madrasah ibtidaiyah”, yakni “sekolah tingkat permulaan”). Karena itu, orang yang berola kehidupan berpindah-pindah, tidak teratur dan “kasar” dalam bahasa Arab disebut orang “badawi” atau “badawi” (“badui”, yang juga dipinjam dalam bahasa inggris menjadi “bedouin”), sebagai lawan dari mereka yang disebut kaum “hadlari” atau “madani”.
(Sumber Bacaan : Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta : Mizan, hal 1745-1746)